Sejarah Kerajaan Nita – Sejarah mencatat bahwa kerajaan Sika berpijak pada pilar tiga bekas kerajaan Sika, yaitu Kerajaan Nita dan kerajaan Kanga (Aradai). Berbeda dengan kerajaan Sika dan Nita yang terkenal, nama kerajaan Kanga (Arada) jarang disebut dalam sejarah Kabupaten Sika. Alasannya adalah kurangnya dokumen asli yang ditulis oleh Kangaye sendiri tentang kerajaan tersebut. Sejarah kerajaan Kanga (Arada) ditelusuri dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan yang disebut Dua Moan Latng Laung, banyak peninggalan kerajaan, reruntuhan kerajaan dan peninggalan sejarah lainnya. , tertulis atau direkam. Atau ditulis oleh pemerintah kolonial Jerman, misionaris dan kerabat bekas kerajaan Sikh.
Sebagian besar sejarawan dan pemerhati budaya setempat mengatakan bahwa pembahasan kerajaan Kanga (Arada) harus dimulai dan diakhiri di wilayah utara laut, sebelah timur Sikka. Daerah ini dikenal sebagai Waipare. Saat itu Waipare, (Soda Otang Watumiloc) menjadi tempat peristirahatan dan perdagangan yang dipenuhi para pedagang dari Sika, Leo, Lamholot, China (Ata Sina), Goa (Ata Gowan) yaitu Bugis, Bonaret, Makassar, Buton, Tidore/ Tidung. Wajo/Bajo, dan pedagang lainnya dari seluruh penjuru. Karena masyarakat pendatang mayoritas beragama Islam, maka kata Ata Goan sendiri diperluas artinya menjadi penduduk Muslim.
Sejarah Kerajaan Nita
Uraian ini menunjukkan bagaimana bagian atas disebut sebagai pusat kerajaan Kanga (Aradai). Namun, hal tersebut belum cukup untuk menjelaskan secara detail sejarah generasi dan sosial masyarakat yang menjadi dasar berdirinya kerajaan tersebut.
Pdf) Game Edukasi Dan Cerita Interaktif Sejarah Kerajaan Di Sumatra Menggunakan Algoritma Fuzzy Sugeno Untuk Mengatur Perilaku Npc
Kerajaan Kanga (Arada) dibangun dari masyarakat adat tradisional yang tinggal di Ilin di Kor, tepatnya di wilayah Wolon Ken Degun Woloru. Orang-orang Meken Detun menyebut dunia tempat mereka berdiri “Nuhan Ular Tana Loran”. Nuhan Ular sendiri berarti Pulau Ular atau yang sekarang Flores, dan “Nuhan Ular Tanah Loran” mengacu pada bagian tengah pulau yang dihuni oleh suku Crowe dan Crowin (wilayah administrasi Sika saat ini tidak termasuk wilayah Muhan, Palu dan Leo). . Nuhan Serpent Tana Loran sendiri meyakini “Nian be Kor Tawa Tana” yang berarti dunia berkembang.
Mereka juga mengenal Uka-Pale sebagai Ina Ata Be Kor Nian/Ama Ata Blira Tana atau Ibu dan Ayah dari Bumi. Yuka-pale ini menjadi simbol orang pertama yang menikah dengan wanita pedesaan bernama Dua Luk Tana – (Dua Tawa Tana) yang lahir dari Moan Laka Lalang. Perkawinan mereka melahirkan Rintihan Lai Meken yang diberi gelar Rintihan Puan Tana, Puan Tawa Tana, yang berarti Pemimpin Singgasana dan Pemilik Mata Air.
Padahal, di wilayah Sika terdapat perbedaan silsilah dari marga (kampung-wolon) yang berbeda. Dalam konteks keluarga Meken Detun, khususnya dalam sejarah kerajaan Kange, transisi yang menarik dari periode kuno ke periode sejarah mengarah pada karakter Bemu Aja.
Kuil Angkor Thom (siem Reap, Kamboja)
Menurut penulis Kanga dan Sika setempat, kerajaan Kanga (Aradai) dimulai oleh Lepo Gete Bemu Aja (Rumah Bemu Aja). Salah satu versi cerita menyebutkan bahwa Bemu-Aja Wolon Kenken Detun adalah pasangan tersebut. Namun Bemu Aja sering disebut-sebut sebagai nama pendatang dari Ternet (Bonneret). Bemu Aja kemudian menikah dengan Dua Le Han Ganu Ledan atau Dua Guru Meran dari Moa Puan Tana Puan Tawa Tana juga dikenal sebagai Dua Le Gur Reun.
Menurut cerita, Bemu Aja membuat berbagai macam barang seperti piring, mangkuk, cangkir emas, piring cina, gading, dll. Bemu Aja juga membawa “watu mahang gajak ahang” (batu kurban dari perut gajah) dan watu deot (patung Buddha). Tenunan benang yang paling menakjubkan adalah “Gore Kappa Be Kor” diikuti oleh “Bopu Kappa Nuru Lorun” dari Dua Guru Meran (mewarnai dan menenun). Karya ini melalui proses “Kaeng Dan Ngaeng” (menarik dan memilah campuran warna). Kata “Kaeng-Ngaeng” diubah menjadi terdengar seperti Kanga. Kata (aradai) sendiri berasal dari gabungan kata empat-dang, yang berarti empat mekat (proses menguatkan siku) dan daeng mekat (proses menurunkan siku setelah mendapat kanji).
Sebuah kisah dari Dua Moan Latng Laung-Kelteng Dara mengisahkan bahwa Bemu Aja adalah peletak dasar dan raja pertama dari 38 raja tradisional dan raja kolonial.Siapakah Raja Kanga? Ia memerintah selama 1025 tahun dari tahun 900-1925 M. Hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan masyarakat karena tidak ada dokumen resmi dari pemerintah Portugis dan Belanda, misionaris atau sejarawan yang mengungkap keberadaan 38 raja tersebut kecuali Raja Nye. Diketahui bahwa ada sistem pemerintahan lokal yang mengatur kehidupan masyarakat sebelum Kanga mewujudkan monarki.
Pemerintah Kabupaten Blitar Segera Menggali Ratusan Benda Cagar Budaya Di Kecamatan Nglegok
Kerajaan tradisional di wilayah Kanga dikenal dengan nama Dua Moan Watu Pitu. Dua Moan Watu Pithu adalah nama tujuh kepala desa. Pemerintahan ini berdasarkan agama dan Moan Puan Thana Puan Thana Tawa. Dua Moan Watu Pitu bertanggung jawab untuk melakukan upacara keagamaan untuk Ina Nian Tana Wawa Ama Lero Wulan Reta (Dewi Ibu Bumi-Dewi Matahari, Bulan). Dua Moan Watu Pitu bertanggung jawab untuk menyelesaikan berbagai masalah budaya, batas tanah (dengan Tana Puan Gete) dan masalah sosial lainnya. Tana Puan menduduki wilayah tradisional yang dikenal dengan Gete Hok Hewer. Masyarakat adat Kanga (Arada) mengenal sistem kehidupan manusia yang berbeda, tatanan sosial dan gaya hidup yang berbeda yang dipimpin oleh Kleteng Latar Belakang. Menurut catatan sejarawan Sikh setempat, Bemu Aja dan istrinya Dua Guru Meran adalah penguasa adat yang diberi gelar Ina Gete Ama Gahar.
Silsilah Bemu Aja menyebutkan bahwa ia menikah dengan Muan Aya dan melahirkan sembilan orang anak, Bura, Kakun, Sina, Mado, Goleng, Keso, Kui, Woga, Bela. Erangan Goleng melahirkan Iku, Ragan, Talon, Nagon, Sae, Juje, Dua Dengor. Erangan Juje, putra Erangan Goleng, menikah dengan sepuluh istri. Dari istri pertamanya lahirlah Dua Hoba Moan Nai, seorang pria karismatik yang merupakan raja tunggal kerajaan Kanga (Aradai), yang bernama Ratu Nai-Ratu Tawa Tawa. Nama Raja Nai sering disebut bersamaan dengan nama saudaranya Roa (dwi tunggal), seorang pejuang yang kuat dan penguasa adat yang dihormati. Kemudian Raja Nye mengirim Manna, Sinon, Bacon, Raja Lewan, dan Jermyn. Raja Nye menjadi satu-satunya raja yang diakui oleh adat tradisional dan hukum pemerintah kolonial Jerman.
Pada tahun 1900-an, penulis lokal tentang sejarah Uwok Jawa menyebut nama Nai. Kebijakan tapal batas tanah Raja Sika yang menolak menyerahkan Jawa Uwok dinilai diskriminatif. Dengan kata lain, masalah keadilan, masalah sosial, lingkungan, tubuh, syafaat, dan kehidupan. Nai dan saudaranya Roa tidak segan-segan melawan Belanda dan raja Sika ketika merasa dirugikan. Saat itu, dia mengatakan bahwa Nai Moan Teka Mai Mumarn adalah kotanya.
Phimeanakas (siem Reap, Kamboja)
Hal ini dapat dilihat dari nama adat (Ratu Tawa Tana) dan umur yang diberikan sehingga Raja Nai diakui sebagai raja kerajaan Kanga. Gelar Ratu Tawa Tana sendiri dipercaya memiliki arti tradisional Kaisar sejak lahir. Nye juga secara sah diakui sebagai Raja oleh Belanda pada 9 Desember 1902, dalam perjanjian politik jangka panjang dengan Residen Timor dan Onderhorigeden. Teks perjanjian itu masih dilestarikan oleh keturunannya. Lihat. (Banyak sumber menyebut perjanjian itu sebagai perjanjian politik sementara Korte Verklaring). Dalam pasal kedua perjanjian itu dijelaskan bahwa pemerintah Belanda menerima naiknya Nye sebagai Raja negeri Kangan dan tanah iklan negeri di Flores utara.
Istana Kerajaan Kanga dibangun di Khlong Pedot, yang berarti desa tersebut dikelilingi oleh pohon berduri. Tempat itu sekarang disebut Higegara. Di sinilah dia dimakamkan pada tahun 1937. Sebuah kuil permanen dibangun di Nuba Nanga (di mana upacara keberuntungan berlangsung di pantai) di Soda Otang Watumiloc di provinsi Kanga. Lokasinya sekarang berada di Desa Waipare.
Selain hubungannya dengan Belanda, pada masa pemerintahannya ia mengkoordinir pengumpulan upeti Ledakan Kelapa, pembangunan jalan Waipare-Ili-Bola dan pembangunan Kleteng (jembatan kayu). Ia juga memperkenalkan penanaman kelapa (sistem tanam paksa oleh Jerman) dan penggalian sumur di berbagai tempat. Seiring dengan misi Katolik, Raja Nai mulai membuka sekolah di Waitakara, Ili, Bola dan Wairothang. Dari segi ekonomi, ia mengambil tempat pertama dengan mengatur ruang sewa dengan pedagang Cina dan Goa di berbagai daerah (pasar) seperti Bajo (Pasar Gemerlap), Nangahale dan Bola. Di bidang pemerintahan, sistem Hok Hewer (wilayah desa) diubah menjadi kecamatan. Saat itu kerajaan Kangau menguasai Kringa, Weranga, Waigeta, Hewokloang, Ili dan Wetakara. Setiap distrik dipimpin oleh kapten.
Merajut Serpihan Sejarah Kalimantan Selatan Yang Tercecer
Raja Nye pensiun dari politik pada tahun 2011. Bekas wilayah ketiga kerajaan ini kemudian digabungkan menjadi kerajaan Sikh. Organisasi regional akhirnya dikonsolidasikan ke dalam kerajaan Hamente, dan penguasa Kanga akhirnya digantikan oleh kebijakan raja-raja Sika. Itulah sebabnya tercatat dalam politik bahwa Raja Nai memerintah kerajaan Kanga selama 21 tahun (9 Desember 1902-1923). Setelah itu, tidak ada master yang akan menggantikannya. Kerajaan sudah mati seperti saat dimulai.
Inilah rangkuman sejarah kerajaan Kanga (Arada) yang bisa kita telusuri melalui jalan terbuka dan fragmen serta artefak yang masih ada. Posting ini adalah ‘perjalanan menyusuri jalur memori’ yang mencoba menggambar satu utas.